BAB 6: Sesuatu Yang Dicuri

Minggu, 12 Oktober 2014
Posted by Hermino Rangga



                London. Spring, 8th 2012

            Senyum pemuda itu terus terbayang di pikiran Laura. Kehangatan yang sudah lama tidak dirasakannya pun hadir beberapa saat yang lalu. Laura ingin mengelak dari kenyataan saat ini. Dia tidak mau mengakui bahwa akal sehat dan hatinya sudah tidak sejalan. Akal sehatnya tidak bisa jujur untuk mengatakan bahwa sesuatu dalam dirinya telah dicuri, telah melayang ke tempat yang sangat asing.

            Laura mempercepat langkah kakinya, meninggalkan sosok Jack yang sudah baik hati mengajaknya keluar dari Cambridge menuju sebuah kota besar di Inggris, London, sekedar untuk menghibur Laura. Dari dulu gadis berambut pirang ini tidak pernah mengerti apa yang dipikirkan semua kaum Adam yang pernah masuk ke dalam hidupnya, bahkan ayahnya sekalipun. Dia tidak pernah tahu alasan kenapa ayahnya sampai tega meninggalkannya sendirian setelah kematian sang Ibu. Di tempat ini, di dunia yang keras.

            “Hei Laura! Darimana saja kau?! Kau tahu ini jam berapa?!”

            “Maaf Sir. Tadi saya mesti berlari jauh, Polisi mengejar saya.”

            “Hah, dasar bodoh! Lalu, apa kau mendapatkan hasil?”

            “Tidak Sir. Saya tidak mendapatkan apa-apa hari ini.”

            “Dasar bodoh!” sebuah tamparan melayang ke pipi sebelah kanan Laura, seketika pula membuatnya jatuh. Pipi sebelah kanannya pun tampak memerah. “Kau pikir kau bisa dapat hidangan malam ini? Tidak akan!”

            Tuan James McBlanc, itulah nama sosok pria berusia 40 tahun yang selama ini merawat dan membesarkan Laura dan beberapa penghuni lainnya. Sarang yang mereka tempati berada di ujung gang sempit yang gelap dan dingin, berlantai 3 dan dihuni sekitar sepuluh orang anak yang berusia antara 15-20 tahun. Ya, mereka semua berprofesi sebagai pencopet, yang mana setiap hari hasil kerja mereka harus diberikan kepada Sang McBlanc sebagai tanda balas jasa telah merawat mereka sejak kecil. Termasuk Laura yang dibuang ayahnya.

            Setelah bangkit dari jatuhnya, Laura segera melangkah sambil memegangi pipi kanannya yang merah. Sakit memang, tapi itu tidaklah cukup untuk menghapuskan sedikit perasaan bahagianya hari ini. Belum ada kata yang tepat untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan saat ini, dan belum ada apapun yang dapat membuatnya lupa dengan senyuman seorang Jack.

            “Laura! Kenapa pipimu? Dia yang melakukannya?”

            Karen, teman satu kamar Laura yang berusia sama dengannya melompat ketika melihat sosok sahabatnya datang dengan kondisi yang tidak baik.

            “Haha yah sudahlah. Bagaimana harimu?”

            “Oh yeah, aku berhasil mengambil dompet seorang pria tampan di Trinity Street. Aku mendapatkan kartu namanya, dan sepertinya dia masih sendiri! Nah, bagaimana denganmu, Laura?”

            “Entahlah. Karen, apa tanda-tanda perempuan menyukai seorang pria?”

            “Kenapa kau tanya soal itu? Seperti bukan Laura yang kukenal.”

            “Tidak ada. Hanya ingin tahu. Apa itu masalah?”

            “Yah kurasa sudah sewajarnya kau bertanya sih. Aku tidak bisa memberikan jawaban yang pasti soal itu. Hanya kau yang tahu kapan kau suka atau jatuh cinta pada seseorang.”

            Untuk beberapa saat Laura diam, pandangannya kosong tertuju pada satu titik. Kembali terputar rekaman ingatan beberapa waktu yang lalu tentang rasa nyaman yang dia rasakan bersama seorang pria seumurannya bernama Jack. Tiap detik yang dia lewati dengan duduk berdampingan bersama pemuda itu di kursi depan mobil mewah yang melaju dengan kecepatan sedang terasa begitu indah. Untuk pertama kalinya dia dapat memandangi indahnya London Eye serta mengagumi megahnya BigBen yang menjadi simbol kota London. Sungguh, itu menjadi pengalaman pertama yang tidak akan mungkin mudah Laura lupakan, apalagi bersama seseorang. Ya, seseorang.

            “Ah, kau sedang suka pada seseorang ya?! Ayoo mengaku!”

            “Ah? Eh..? Tidak.. Mana mungkin!”

            “Yah tidak ada yang tidak mungkin sih. Lagipula kau wanita, kita sama. Cepat atau lambat, kau juga pasti akan menyukai seorang pria. Hahaha!”

            “Apa selama ini kau mengira aku penyuka sesama jenis?”

            “Hanya mengira-ngira. Peace.”

            “Dasar bodoh..”

            Ya, mungkin untuk saat ini Karen tidak perlu tahu banyak soal kehadiran sosok baru di dalam hidup Laura. Belum saatnya Laura menceritakan tentang apa yang tengah dia rasakan saat ini, tentang pertemuannya dengan Jack. Tentang jalan cerita yang mulai terajut antara Laura dan pemuda kaya itu. Laura hanya tidak habis pikir, bagaimana mungkin pertemuan mereka yang terkesan sangat abnormal, justru menjadi jalan takdir yang membuat seorang gadis tomboy seperti Laura merasakan jatuh cinta.

            Tidak ada yang aneh dengan cerita seorang gadis pencopet yang jatuh hati pada sang korbannya. Laura bisa dengan mudah mengambil dompet Jack, menguras semua yang ada di dalamnya. Namun Jack bisa melakukan lebih dari apa yang dia lakukan. Jack telah berhasil mencuri sesuatu dari Laura. Ya, Jack berhasil mencuri hati Laura.

Bab 5: Kesempatan Kedua

Minggu, 23 Juni 2013
Posted by Hermino Rangga

London. Spring,8th 2012

            Hari Sabtu. Yeah!

            Pagi, sama seperti kemarin, Jack bergegas menaiki mobilnya siap menyusuri jalanan lagi. Dan tujuannya sudah jelas, hari ini dia harus menemukan dan mengetahui nama gadis pencopet itu. Mengenakan jaket hitam dengan celana jeans, Jack tampak terlihat tidak seperti pemuda tampan Britania Raya pada umumnya. Dandanannya malah terkesan sangat sederhana. Toh baginya tidak ada yang terlalu istimewa. Hal-hal istimewa seperti apapun tidak akan ada bedanya dengan hari-hari biasa, menurutnya.

            Jack sengaja membawa sarapannya ke dalam mobil, akan dia nikmati selagi melakukan perjalanan. Tapi dia juga sempat untuk mengunjungi salah satu supermarket di Charing Cross Road, membeli beberapa makanan ringan dan minuman kaleng. Dia tidak bakal tahu apa yang akan terjadi beberapa saat ke depan kan?

            Mobil BMW itu melaju dengan kecepatan sedang, melewati daerah-daerah yang dimana jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya dipisahkan dengan sebuah halaman luas untuk bertanam. Cuaca cukup mendukung dengan awan biru dan cahaya matahari yang menandakan tidak akan datang hujan untuk hari ini. Dengan begini, dia bisa tenang. Yah, tujuannya harus tercapai hari ini. Dia tidak mau menjadi gila hanya karena menginginkan sebuah nama yang tidak kunjung dia dapatkan. Tidak akan mau.

            Dan…

            Cambridge. Jack menunggu di depan cafĂ© kemarin, namun di dalam mobilnya. Sambil menunggu, mulutnya tidak berhenti untuk mengunyah sepotong roti buatan ibunya. Pandangan matanya selalu waspada, mengawasi siapa-siapa saja yang melewati mobilnya. Belum ada tanda-tanda sama sekali. Jack menyandarkan tubuhnya ke belakang, membuat posisinya nyaman senyaman mungkin. Suasana di dalam mobilnya sunyi, dia tidak ada niat menghidupkan lagu-lagu yang ada. Dia ingin menunggu, dengan keadaan yang tenang.

            1 jam, mungkin Jack sudah menghabiskan satu minuman kaleng ditambah beberapa makanan ringan.

            Dan sampai 3 jam, masih belum ada tanda-tandanya.

            Malah, cuaca mendadak berubah. Awan menjadi gelap. Matahari mulai beranjak, seakan-akan ini waktunya untuk kembali tidur. Awan hitam menjadi penghias langit pagi itu. Pukul 10, dan sudah akan hujan? Untungnya Jack berada di dalam mobil. Dan benar saja, tidak lama kemudian hujan turun. Awalnya hanya beberapa tetesan namun lama kelamaan semakin deras dan mereka datang dalam waktu yang bersamaan. Dengan keadaan seperti ini, sudah mustahil bagi Jack untuk menemukan gadis itu kan? Mungkin, ini bukan waktunya (lagi).

            Jack menghidupkan mesin mobilnya lagi, dan BWM hitam itu maju perlahan meninggalkan tempatnya semula. Mobil itu berjalan pelan, karena pengemudinya nampak masih penasaran dengan ‘sesuatu’ yang dia cari. Matanya terus bergerak ke kanan maupun ke kiri jalanan. Tidak ada. Okay, harapannya pupus untuk hari ini. Mungkin hari ini tidak berjalan sesuai dengan apa yang dia inginkan.

            Bukan hidupnya yang buruk, hanya hari yang buruk.

            Namun, yang namanya takdir sudah pasti tidak bisa berubah. Dimana ada usaha, tidak jauh dari situ pasti aka nada hasil yang tampak. Pandangan mata Jack menangkap sesosok perempuan duduk sendirian berteduh di sebuah halte dengan keadaan memeluk dirinya sendiri. Jack membuka sedikit kaca mobilnya, memicingkan matanya, memastikan apakah itu yang dia cari. Dalam sekejap, kedua matanya seakan-akan terbuka. Rasanya seperti ketika pertama kali mendapatkan hadiah pertama Natal dari Santa! Jack meminggirkan mobilnya ke arah halte. Dia kemudian turun, menuju arah gadis itu.

            “Kelihatannya kau kedinginan…”, ujar Jack sambil melepaskan jaket hitam yang dia kenakan. Dan kini tubuhnya hanya berlapiskan kaos hitam polos. “Pakailah.”

            Jack menyelimutkan jaket miliknya pada gadis berambut pirang itu. Tentu saja dia ikhlas melakukan ini sekalipun permukaan kulitnya harus tersiksa dengan dinginnnya angina yang bertiup kencang. Gadis itu sama sekali tidak berbicara. Bibirnya nampak bergetar menahan dingin. Jack mengerti.

            “Ayo, kuantar kau ke rumahmu.”

            Jack membimbing gadis itu masuk ke mobilnya, dan anehnya gadis itu tidak melakukan hal-hal yang aneh. Nah, sekarang Jack sudah kembali ke kursi kemudinya dengan gadis itu di sampingnya.

            “Dimana rumahmu?”

            Masih tidak ada jawaban sama sekali dari gadis itu. Masih bersikukuh untuk diam, menahan rasa dingin.

            “Hm, kurasa kau butuh sedikit hiburan.”

            Jack tahu ke mana dia harus membawa gadis itu. Jack mengarahkan mobilnya keluar dari Kota Cambridge, tujuannya adalah London. Entah apa yang membuat Jack berpikir kalau membawa gadis itu ke London akan membuatnya berbicara. Jack tahu apa yang dia lakukan dan dia pasti akan bertanggung jawab atas apa yang dia perbuat.

            “Ini, makanlah. Bisa menghangatkan tubuhmu.”, Jack mengulurkan tangannya, memberikan sepotong cokelat yang dia beli. Kata Ibunya, cokelat punya khasiat untuk menghangatkan tubuh. Mungkin?

            Gadis itu menggigit sedikit ujung cokelat batangan itu. Mengunyahnya, dan terus melakukannya berulang-ulang.

            “Aku akan membawamu ke London….”

            Seketika gadis itu nampak bingung, dan memasang raut wajah yang mengartikan bahwa seakan-akan dia akan diculik.

            “Tenang, aku tidak akan melaporkanmu ke polisi.”

            Gadis itu kembali duduk tenang, bersandar pada kursinya. Memandang keluar jendela yang mulai menampakkan gedung-gedung tinggi. Mereka sudah hampir sampai di London. Ternyata, di London pun juga hujan. Sepertinya merata ke seluruh Britania Raya. Sejujurnya, di dalam hati Jack amat senang dengan keberadaan gadis itu di sampingnya saat ini. Rasanya seperti mimpi. Sungguh.


“Lihat, London’s Eye selalu terlihat begitu indah ya. Haha.”

            Benar, Jack mengajak gadis itu untuk melihat-lihat bagaimana indahnya London dengan segala ‘benda-benda’ kebanggaan mereka. Gadis itu nampak takjub dengan benda raksasa yang kokoh tinggi menjulang itu. Sayangnya ini hujan, kalau tidak mungkin Jack akan mengajak gadis itu untuk berkeliling. Yah seandainya saja. Baiklah, pemberhentian selanjutnya tentu saja tempat ‘itu’ kan.


            

            “Nah, bangunan luar biasa ini selalu bisa menghiburku.”

“Apa namanya?”

            Akhirnya gadis itu memperdengarkan suaranya. Terdengar sangat lembut, sama seperti pertama kali mereka bertemu di depan cafĂ© kemarin. Ini dia, sepertinya cara yang digunakan Jack berhasil ya? Aneh, gadis itu sampai tidak tahu nama bangunan yang cukup terkenal di Britania Raya ini?

            “BigBen, itu namanya.”
            Mereka terus berkeliling, dengan keadaan di luar yang sudah agak berbeda. Hujan sudah agak reda. Tidak terasa, sudah lebih dari 2 jam mereka bersama duduk berdampingan di dalam mobil. Dan sudah saatnya Jack kembali membawa gadis itu ke Cambridge.

            “Kenapa kau melakukan ini?”

            “Eh?”

            “Kenapa kau mengajakku ke tempat ini?”

            “Entahlah. Kurasa kau butuh hiburan.”

            Selama sisa perjalanan mereka, keadaan sunyi. Namun Jack senang. Paling tidak dia bisa sesekali melirik gadis itu yang sedang termenung. Baginya tampak lebih indah. Oh ya, dia tidak boleh melupakan apa tujuannya kan? Ya! Ini kesempatan keduanya dan tidak boleh dia lewatkan! Ini waktu yang tepat untuk melakukannya! Akan terlihat seperti orang bodoh saja kalau sampai dia terlena dengan kesenangan yang sesaat tanpa mengenal namanya.

            “Aku Jack McKinley. Namamu?”

            “Laura. Laura Baines.”

            “Hm, baiklah Laura. Ke mana aku harus mengantarmu?”

            “Cukup di depan cafĂ© kemarin saja. Aku bisa jalan sendiri.”

            Tanpa banyak bertanya lagi, Jack segera mengantarkan Laura di depan cafĂ©. Dia tidak mau terlalu memaksakan diri dengan bertanya sebenarnya rumah Laura. Wanita tidak akan terlalu suka hal seperti itu kan? Hari ini benar-benar luar biasa untuknya.

            “Terima kasih. Ini, jaketmu.”

            “Tidak masalah. Em, Laura…?”

            “Apa?”

            “Kira-kira, dimana aku bisa menemukanmu? Selain di sini?”, di depan cafĂ© ini. Pasti ada tempat lain yang dijadikan Laura sebagai tempat favoritnya kan.

            “Entahlah. Aku orangnya mudah bosan. Jack, aku harus buru-buru pulang. Thanks atas semuanya. Dan maaf soal yang kemarin.”

            Lagi-lagi gadis itu langsung berlari tanpa menunggu jawaban satu patah kata pun dari Jack. Tapi Jack cukup meresponnya dengan senyumnya. Yah dia sudah cukup beruntung bisa mengenal Laura. Dia ingin kenal lebih jauh lagi dengan gadis itu. Mungkin kalau dia menceritakan kisah ini pada Zack, saudaranya akan langsung mengolok-oloknya karena ‘jatuh cinta’ pada seorang pencopet yang bahkan tidak mengenal BigBen. Tapi benar, Jack sungguh-sungguh ingin lebih lama dengan Laura.

Ya, dia benar-benar sudah jatuh cinta. Inilah lembaran baru yang menutup masa lalunya.

Bab 4: Pendatang Baru

Posted by Hermino Rangga

“Hei! Kembalikan!!”

            Sambil berlari, Jack mencoba meneriakkan kata-kata yang mungkin bisa ‘meluluhkan’ niat gadis pencopet itu. Jack terus berlari di belakang sang pencopet yang nampaknya sudah handal karena larinya juga cukup cepat untuk seorang wanita. Dan lagi, jalan yang dilalui pun sepertinya sudah seperti kebiasaan tersendiri untuk gadis itu.

            Jack cukup berharap bahwa jalanan ramai di depan sana setidaknya bisa menghambat laju gadis yang tak diketahui namanya itu. Tapi apa mau dikata, gadis itu tetap berlari kencang menerobos tubuh-tubuh yang ada di depannya, melewati mereka semua seakan-akan ini adalah hidup terakhirnya di dunia. Meski begitu, sebagai pria tentu saja Jack tidak akan mudah menyerah, apalagi dia harus merelakan beberapa lembar uang miliknya secara cuma-cuma pada seseorang yang tidak dia kenal sama sekali.

            Semakin lama, Jack merasa bahwa keadaan disekitarnya sudah berubah. Dia tidak lagi berada di sebuah jalanan yang ramai dilalui orang-orang. Malah, kini dia berada di antara gang-gang sempit yang berada di tengah-tengah beberapa rumah bertingkat. Kedua bola mata Jack menangkap pagar tinggi, tak jauh dari tempatnya saat ini masih berlari. Dan lihatlah, gadis itupun berhenti dan berbalik menghadap Jack yang kini sudah sangat terengah-engah, mencoba mengatur nafasnya kembali normal.

            “Hei… Kembalikan…”

            Pemuda itu terdengar memelas dari suaranya. Wajar saja, sudah cukup jauh perjalanannya tadi ditambah harus berlari mengejar pencopet lincah yang mungkin saja mempunyai sepatu ajaib yang bisa melipatgandakan kecepatan larinya.

            “Huh! Ini, ambilah! Dan lekas pergi dari sini, Tuan.”

            Apa-apaan itu? Jack melihat gadis itu melemparkan dompetnya, dan kini sudah ada di dekat kaki Jack. Kenapa tidak dari tadi saja gadis itu menyerahkannya? Apa dia pikir Jack adalah laki-laki yang mudah menyerah? Jack merasa cukup lega dengan keringanan yang diberikan gadis itu padanya. Namun tak lama kemudian, gadis itu kembali berlari dan melompati pagar tinggi yang terbuat dari kawat. Sangat lincah dan cerdik! Jack tentu tidak ingin menghilangkan sesuatu yang indah buatnya hari ini. Diapun berlari, meski tidak melompati pagar kawat di depannya.

            “I think I’m in love..”, suara Jack terdengar seperti sebuah bisikan yang amat sangat pelan.

            “HEI! SIAPA NAMAMU?!”, Jack kali ini mesti menjerit karena jaraknya dengan gadis itu sudah lumayan jauh. Dan belum lagi pagar pembatas yang kini memisahkan mereka.

                        Beberapa saat kemudian gadis itu menghilang di sebuah belokan. Jack melangkah pelan untuk mengambil dompetnya yang masih tergeletak di atas tanah, dan memeriksa keadaannya. Masih sama, tidak ada yang berkurang sama sekali. Inilah yang membuat Jack cukup heran. Sebenarnya, apa tujuan gadis yang tidak ingin memberitahukan namanya itu? Jack menoleh lagi ke arah pagar kawat tadi, berharap kalau gadis itu akan kembali.

            “SENANG BERTEMU DENGANMU!”
           
            Seakan-akan gadis itu akan mendengarkan teriakannya. Hah bodoh.

            Sudah cukup sepertinya. Mungkin ini belum waktunya. Jack bisa berharap pertemuannya dengan gadis itu merupakan sebuah awal baru dari kehidupannya di London. Mungkin dia sudah menemukan tinta yang akan dia gunakan untuk menorehkan kata-kata indah di atas secarik kertas kosong. Terlalu berharap bukan masalah, selama dia juga mengiringinya dengan usaha, dia percaya dia bisa. Pasti.

            Ngomong-ngomong, dia sudah harus kembali ke rumahnya.



“Hmm…”

Jack kembali ke jalanan Kota London yang sudah ramai lagi. Wajar saja, sekarang sudah pukul 10 pagi dan tidak terasa sudah 3 jam Jack menghabiskan waktunya di luar rumah. Setidaknya dia mendapatkan ‘sesuatu’ untuk dirinya. Tidak, dia tidak akan bertindak bodoh dengan membagi kisahnya dengan saudara kembarnya. Dia ingin menyimpan kisah barunya ini untuk dirinya sendiri.  Yah, sebuah dongeng indah dari Kota Cambridge yang akan jadi bunga mimpi indahnya.

“Bagaimana mobil barumu, Jack?”, terdengar suara Zack ketika Jack baru saja turun dari mobilnya di depan garasi.

“Cukup menyenangkan dan cepat. Mau coba?”

“Aku tidak tertarik.”

Tidak mungkin. Jack tahu, sebenarnya saudara kembarnya itu juga menginginkan hal yang sama dengan Jack. Hanya saja, mungkin karena faktor Jack yang ‘sedikit’ lebih tualah yang membuatnya sedikit beruntung. Jadi ceritanya, setiap hari Jack akan membawa mobilnya dengan Zack yang akan duduk dengan rapi di sampingnya ke Universitas Cambridge. Yah, mereka berada di satu sekolah kali ini.

“Sudah bertemu gadis London hm?”, kali ini suara ayahnya yang terdengar, beberapa langkah setelah Jack masuk ke dalam rumah.

“Yep, mereka lebih seksi.”

“Tentu saja. Hahahaha!”

Jack langsung pergi ke kamarnya, memperhatikan kalender yang tergantung di dinding kamarnya. Masih ada sekitar 2 minggu sampai tahun ajaran baru dimulai. Dan itu artinya masih ada cukup waktu untuk bersenang-senang di sini, pikirnya. Jack merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya yang empuk, menatap langit-langit kamarnya. Terbayangkan lagi wajah gadis pencopet yang ditemuinya tadi. Indah.

“Maybe I’m in love.”

Jack menutup matanya, dan terlihat pula segurat senyuman tipis di wajahnya. Ingin rasanya dia beranjak ke dunia mimpi dan bertemu gadis itu lagi. Satu hal yang tidak akan dia lewatkan ketika bertemu dengan gadis itu lagi adalah menanyakan namanya. Dia tidak mau tergila-gila pada sosok gadis yang tidak diketahui namanya. Ya, dia harus tahu nama gadis itu bagaimanapun caranya.

Setidaknya sekarang Jack sudah tahu. Bahwa cinta tidak bisa ditebak kapan dia datang, dimana dia akan muncul dan bagaimana dia masuk ke dalam hari seseorang.
 
Welcome to My Blog

Mengenai Saya

Foto saya
FreelanceWriter | RP-er | Manusia Sejarah Undip'14 | Juventini

Pengunjung

Teman

Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Kisah Klasik -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -