London. Spring, 8th 2012
Senyum pemuda itu terus terbayang di pikiran Laura.
Kehangatan yang sudah lama tidak dirasakannya pun hadir beberapa saat yang
lalu. Laura ingin mengelak dari kenyataan saat ini. Dia tidak mau mengakui
bahwa akal sehat dan hatinya sudah tidak sejalan. Akal sehatnya tidak bisa
jujur untuk mengatakan bahwa sesuatu dalam dirinya telah dicuri, telah melayang
ke tempat yang sangat asing.
Laura mempercepat langkah kakinya, meninggalkan sosok
Jack yang sudah baik hati mengajaknya keluar dari Cambridge menuju sebuah kota
besar di Inggris, London, sekedar untuk menghibur Laura. Dari dulu gadis
berambut pirang ini tidak pernah mengerti apa yang dipikirkan semua kaum Adam
yang pernah masuk ke dalam hidupnya, bahkan ayahnya sekalipun. Dia tidak pernah
tahu alasan kenapa ayahnya sampai tega meninggalkannya sendirian setelah
kematian sang Ibu. Di tempat ini, di dunia yang keras.
“Hei Laura! Darimana saja kau?! Kau tahu ini jam berapa?!”
“Maaf Sir. Tadi saya mesti berlari jauh, Polisi mengejar
saya.”
“Hah, dasar bodoh! Lalu, apa kau mendapatkan hasil?”
“Tidak Sir. Saya tidak mendapatkan apa-apa hari ini.”
“Dasar bodoh!” sebuah tamparan melayang ke pipi sebelah
kanan Laura, seketika pula membuatnya jatuh. Pipi sebelah kanannya pun tampak
memerah. “Kau pikir kau bisa dapat hidangan malam ini? Tidak akan!”
Tuan James McBlanc, itulah nama sosok pria berusia 40
tahun yang selama ini merawat dan membesarkan Laura dan beberapa penghuni
lainnya. Sarang yang mereka tempati berada di ujung gang sempit yang gelap dan
dingin, berlantai 3 dan dihuni sekitar sepuluh orang anak yang berusia antara
15-20 tahun. Ya, mereka semua berprofesi sebagai pencopet, yang mana setiap
hari hasil kerja mereka harus diberikan kepada Sang McBlanc sebagai tanda balas
jasa telah merawat mereka sejak kecil. Termasuk Laura yang dibuang ayahnya.
Setelah bangkit dari jatuhnya, Laura segera melangkah
sambil memegangi pipi kanannya yang merah. Sakit memang, tapi itu tidaklah
cukup untuk menghapuskan sedikit perasaan bahagianya hari ini. Belum ada kata
yang tepat untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan saat ini, dan belum ada
apapun yang dapat membuatnya lupa dengan senyuman seorang Jack.
“Laura! Kenapa pipimu? Dia yang melakukannya?”
Karen, teman satu kamar Laura yang berusia sama dengannya
melompat ketika melihat sosok sahabatnya datang dengan kondisi yang tidak baik.
“Haha yah sudahlah. Bagaimana harimu?”
“Oh yeah, aku berhasil mengambil dompet seorang pria
tampan di Trinity Street. Aku mendapatkan kartu namanya, dan sepertinya dia
masih sendiri! Nah, bagaimana denganmu, Laura?”
“Entahlah. Karen, apa tanda-tanda perempuan menyukai
seorang pria?”
“Kenapa kau tanya soal itu? Seperti bukan Laura yang
kukenal.”
“Tidak ada. Hanya ingin tahu. Apa itu masalah?”
“Yah kurasa sudah sewajarnya kau bertanya sih. Aku tidak
bisa memberikan jawaban yang pasti soal itu. Hanya kau yang tahu kapan kau suka
atau jatuh cinta pada seseorang.”
Untuk beberapa saat Laura diam, pandangannya kosong
tertuju pada satu titik. Kembali terputar rekaman ingatan beberapa waktu yang
lalu tentang rasa nyaman yang dia rasakan bersama seorang pria seumurannya
bernama Jack. Tiap detik yang dia lewati dengan duduk berdampingan bersama
pemuda itu di kursi depan mobil mewah yang melaju dengan kecepatan sedang
terasa begitu indah. Untuk pertama kalinya dia dapat memandangi indahnya London
Eye serta mengagumi megahnya BigBen yang menjadi simbol kota London. Sungguh,
itu menjadi pengalaman pertama yang tidak akan mungkin mudah Laura lupakan,
apalagi bersama seseorang. Ya, seseorang.
“Ah, kau sedang suka pada seseorang ya?! Ayoo mengaku!”
“Ah? Eh..? Tidak.. Mana mungkin!”
“Yah tidak ada yang tidak mungkin sih. Lagipula kau wanita,
kita sama. Cepat atau lambat, kau juga pasti akan menyukai seorang pria.
Hahaha!”
“Apa selama ini kau mengira aku penyuka sesama jenis?”
“Hanya mengira-ngira. Peace.”
“Dasar bodoh..”
Ya, mungkin untuk saat ini Karen tidak perlu tahu banyak
soal kehadiran sosok baru di dalam hidup Laura. Belum saatnya Laura
menceritakan tentang apa yang tengah dia rasakan saat ini, tentang pertemuannya
dengan Jack. Tentang jalan cerita yang mulai terajut antara Laura dan pemuda
kaya itu. Laura hanya tidak habis pikir, bagaimana mungkin pertemuan mereka
yang terkesan sangat abnormal, justru menjadi jalan takdir yang membuat seorang
gadis tomboy seperti Laura merasakan jatuh cinta.
Tidak ada yang aneh dengan cerita seorang gadis pencopet
yang jatuh hati pada sang korbannya. Laura bisa dengan mudah mengambil dompet
Jack, menguras semua yang ada di dalamnya. Namun Jack bisa melakukan lebih dari
apa yang dia lakukan. Jack telah berhasil mencuri sesuatu dari Laura. Ya, Jack
berhasil mencuri hati Laura.
London. Spring,8th 2012
Hari
Sabtu. Yeah!
Pagi, sama seperti kemarin, Jack bergegas menaiki
mobilnya siap menyusuri jalanan lagi. Dan tujuannya sudah jelas, hari ini dia
harus menemukan dan mengetahui nama gadis pencopet itu. Mengenakan jaket hitam
dengan celana jeans, Jack tampak terlihat tidak seperti pemuda tampan Britania
Raya pada umumnya. Dandanannya malah terkesan sangat sederhana. Toh baginya
tidak ada yang terlalu istimewa. Hal-hal istimewa seperti apapun tidak akan ada
bedanya dengan hari-hari biasa, menurutnya.
Jack sengaja membawa sarapannya ke dalam mobil, akan dia
nikmati selagi melakukan perjalanan. Tapi dia juga sempat untuk mengunjungi
salah satu supermarket di Charing Cross Road, membeli beberapa makanan ringan
dan minuman kaleng. Dia tidak bakal tahu apa yang akan terjadi beberapa saat ke
depan kan?
Mobil BMW itu melaju dengan kecepatan sedang, melewati
daerah-daerah yang dimana jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya
dipisahkan dengan sebuah halaman luas untuk bertanam. Cuaca cukup mendukung
dengan awan biru dan cahaya matahari yang menandakan tidak akan datang hujan
untuk hari ini. Dengan begini, dia bisa tenang. Yah, tujuannya harus tercapai
hari ini. Dia tidak mau menjadi gila hanya karena menginginkan sebuah nama yang
tidak kunjung dia dapatkan. Tidak akan mau.
Dan…
Cambridge. Jack menunggu di depan café kemarin, namun di
dalam mobilnya. Sambil menunggu, mulutnya tidak berhenti untuk mengunyah
sepotong roti buatan ibunya. Pandangan matanya selalu waspada, mengawasi
siapa-siapa saja yang melewati mobilnya. Belum ada tanda-tanda sama sekali.
Jack menyandarkan tubuhnya ke belakang, membuat posisinya nyaman senyaman
mungkin. Suasana di dalam mobilnya sunyi, dia tidak ada niat menghidupkan
lagu-lagu yang ada. Dia ingin menunggu, dengan keadaan yang tenang.
1 jam, mungkin Jack sudah menghabiskan satu minuman
kaleng ditambah beberapa makanan ringan.
Dan sampai 3 jam, masih belum ada tanda-tandanya.
Malah, cuaca mendadak berubah. Awan menjadi gelap.
Matahari mulai beranjak, seakan-akan ini waktunya untuk kembali tidur. Awan
hitam menjadi penghias langit pagi itu. Pukul 10, dan sudah akan hujan?
Untungnya Jack berada di dalam mobil. Dan benar saja, tidak lama kemudian hujan
turun. Awalnya hanya beberapa tetesan namun lama kelamaan semakin deras dan
mereka datang dalam waktu yang bersamaan. Dengan keadaan seperti ini, sudah
mustahil bagi Jack untuk menemukan gadis itu kan? Mungkin, ini bukan waktunya
(lagi).
Jack menghidupkan mesin mobilnya lagi, dan BWM hitam itu
maju perlahan meninggalkan tempatnya semula. Mobil itu berjalan pelan, karena
pengemudinya nampak masih penasaran dengan ‘sesuatu’ yang dia cari. Matanya
terus bergerak ke kanan maupun ke kiri jalanan. Tidak ada. Okay, harapannya
pupus untuk hari ini. Mungkin hari ini tidak berjalan sesuai dengan apa yang
dia inginkan.
Bukan hidupnya yang buruk, hanya hari yang buruk.
Namun, yang namanya takdir sudah pasti tidak bisa
berubah. Dimana ada usaha, tidak jauh dari situ pasti aka nada hasil yang
tampak. Pandangan mata Jack menangkap sesosok perempuan duduk sendirian
berteduh di sebuah halte dengan keadaan memeluk dirinya sendiri. Jack membuka
sedikit kaca mobilnya, memicingkan matanya, memastikan apakah itu yang dia
cari. Dalam sekejap, kedua matanya seakan-akan terbuka. Rasanya seperti ketika
pertama kali mendapatkan hadiah pertama Natal dari Santa! Jack meminggirkan
mobilnya ke arah halte. Dia kemudian turun, menuju arah gadis itu.
“Kelihatannya kau kedinginan…”, ujar Jack sambil
melepaskan jaket hitam yang dia kenakan. Dan kini tubuhnya hanya berlapiskan
kaos hitam polos. “Pakailah.”
Jack menyelimutkan jaket miliknya pada gadis berambut
pirang itu. Tentu saja dia ikhlas melakukan ini sekalipun permukaan kulitnya
harus tersiksa dengan dinginnnya angina yang bertiup kencang. Gadis itu sama
sekali tidak berbicara. Bibirnya nampak bergetar menahan dingin. Jack mengerti.
“Ayo, kuantar kau ke rumahmu.”
Jack membimbing gadis itu masuk ke mobilnya, dan anehnya
gadis itu tidak melakukan hal-hal yang aneh. Nah, sekarang Jack sudah kembali
ke kursi kemudinya dengan gadis itu di sampingnya.
“Dimana rumahmu?”
Masih tidak ada jawaban sama sekali dari gadis itu. Masih
bersikukuh untuk diam, menahan rasa dingin.
“Hm, kurasa kau butuh sedikit hiburan.”
Jack tahu ke mana dia harus membawa gadis itu. Jack
mengarahkan mobilnya keluar dari Kota Cambridge, tujuannya adalah London. Entah
apa yang membuat Jack berpikir kalau membawa gadis itu ke London akan
membuatnya berbicara. Jack tahu apa yang dia lakukan dan dia pasti akan
bertanggung jawab atas apa yang dia perbuat.
“Ini, makanlah. Bisa menghangatkan tubuhmu.”, Jack
mengulurkan tangannya, memberikan sepotong cokelat yang dia beli. Kata Ibunya,
cokelat punya khasiat untuk menghangatkan tubuh. Mungkin?
Gadis itu menggigit sedikit ujung cokelat batangan itu.
Mengunyahnya, dan terus melakukannya berulang-ulang.
“Aku akan membawamu ke London….”
Seketika gadis itu nampak bingung, dan memasang raut
wajah yang mengartikan bahwa seakan-akan dia akan diculik.
“Tenang, aku tidak akan melaporkanmu ke polisi.”
Gadis itu kembali duduk tenang, bersandar pada kursinya.
Memandang keluar jendela yang mulai menampakkan gedung-gedung tinggi. Mereka
sudah hampir sampai di London. Ternyata, di London pun juga hujan. Sepertinya
merata ke seluruh Britania Raya. Sejujurnya, di dalam hati Jack amat senang
dengan keberadaan gadis itu di sampingnya saat ini. Rasanya seperti mimpi.
Sungguh.
“Lihat, London’s Eye
selalu terlihat begitu indah ya. Haha.”
Benar, Jack mengajak gadis itu untuk melihat-lihat
bagaimana indahnya London dengan segala ‘benda-benda’ kebanggaan mereka. Gadis
itu nampak takjub dengan benda raksasa yang kokoh tinggi menjulang itu.
Sayangnya ini hujan, kalau tidak mungkin Jack akan mengajak gadis itu untuk
berkeliling. Yah seandainya saja. Baiklah, pemberhentian selanjutnya tentu saja
tempat ‘itu’ kan.
“Nah, bangunan luar biasa ini selalu bisa
menghiburku.”
“Apa namanya?”
Akhirnya
gadis itu memperdengarkan suaranya. Terdengar sangat lembut, sama seperti
pertama kali mereka bertemu di depan café kemarin. Ini dia, sepertinya cara
yang digunakan Jack berhasil ya? Aneh, gadis itu sampai tidak tahu nama
bangunan yang cukup terkenal di Britania Raya ini?
“BigBen,
itu namanya.”
Mereka
terus berkeliling, dengan keadaan di luar yang sudah agak berbeda. Hujan sudah
agak reda. Tidak terasa, sudah lebih dari 2 jam mereka bersama duduk
berdampingan di dalam mobil. Dan sudah saatnya Jack kembali membawa gadis itu
ke Cambridge.
“Kenapa
kau melakukan ini?”
“Eh?”
“Kenapa
kau mengajakku ke tempat ini?”
“Entahlah.
Kurasa kau butuh hiburan.”
Selama
sisa perjalanan mereka, keadaan sunyi. Namun Jack senang. Paling tidak dia bisa
sesekali melirik gadis itu yang sedang termenung. Baginya tampak lebih indah.
Oh ya, dia tidak boleh melupakan apa tujuannya kan? Ya! Ini kesempatan keduanya
dan tidak boleh dia lewatkan! Ini waktu yang tepat untuk melakukannya! Akan
terlihat seperti orang bodoh saja kalau sampai dia terlena dengan kesenangan
yang sesaat tanpa mengenal namanya.
“Aku
Jack McKinley. Namamu?”
“Laura.
Laura Baines.”
“Hm,
baiklah Laura. Ke mana aku harus mengantarmu?”
“Cukup
di depan cafĂ© kemarin saja. Aku bisa jalan sendiri.”
Tanpa
banyak bertanya lagi, Jack segera mengantarkan Laura di depan café. Dia tidak
mau terlalu memaksakan diri dengan bertanya sebenarnya rumah Laura. Wanita
tidak akan terlalu suka hal seperti itu kan? Hari ini benar-benar luar biasa
untuknya.
“Terima
kasih. Ini, jaketmu.”
“Tidak
masalah. Em, Laura…?”
“Apa?”
“Kira-kira,
dimana aku bisa menemukanmu? Selain di sini?”, di depan cafĂ© ini. Pasti ada
tempat lain yang dijadikan Laura sebagai tempat favoritnya kan.
“Entahlah.
Aku orangnya mudah bosan. Jack, aku harus buru-buru pulang. Thanks atas
semuanya. Dan maaf soal yang kemarin.”
Lagi-lagi
gadis itu langsung berlari tanpa menunggu jawaban satu patah kata pun dari
Jack. Tapi Jack cukup meresponnya dengan senyumnya. Yah dia sudah cukup
beruntung bisa mengenal Laura. Dia ingin kenal lebih jauh lagi dengan gadis
itu. Mungkin kalau dia menceritakan kisah ini pada Zack, saudaranya akan
langsung mengolok-oloknya karena ‘jatuh cinta’ pada seorang pencopet yang
bahkan tidak mengenal BigBen. Tapi benar, Jack sungguh-sungguh ingin lebih lama
dengan Laura.
Ya, dia benar-benar sudah jatuh cinta. Inilah
lembaran baru yang menutup masa lalunya.
“Hei! Kembalikan!!”
Sambil berlari, Jack
mencoba meneriakkan kata-kata yang mungkin bisa ‘meluluhkan’ niat gadis
pencopet itu. Jack terus berlari di belakang sang pencopet yang nampaknya sudah
handal karena larinya juga cukup cepat untuk seorang wanita. Dan lagi, jalan
yang dilalui pun sepertinya sudah seperti kebiasaan tersendiri untuk gadis itu.
Jack cukup berharap
bahwa jalanan ramai di depan sana setidaknya bisa menghambat laju gadis yang
tak diketahui namanya itu. Tapi apa mau dikata, gadis itu tetap berlari kencang
menerobos tubuh-tubuh yang ada di depannya, melewati mereka semua seakan-akan
ini adalah hidup terakhirnya di dunia. Meski begitu, sebagai pria tentu saja
Jack tidak akan mudah menyerah, apalagi dia harus merelakan beberapa lembar
uang miliknya secara cuma-cuma pada seseorang yang tidak dia kenal sama sekali.
Semakin lama, Jack
merasa bahwa keadaan disekitarnya sudah berubah. Dia tidak lagi berada di
sebuah jalanan yang ramai dilalui orang-orang. Malah, kini dia berada di antara
gang-gang sempit yang berada di tengah-tengah beberapa rumah bertingkat. Kedua
bola mata Jack menangkap pagar tinggi, tak jauh dari tempatnya saat ini masih
berlari. Dan lihatlah, gadis itupun berhenti dan berbalik menghadap Jack yang kini
sudah sangat terengah-engah, mencoba mengatur nafasnya kembali normal.
“Hei… Kembalikan…”
Pemuda itu terdengar
memelas dari suaranya. Wajar saja, sudah cukup jauh perjalanannya tadi ditambah
harus berlari mengejar pencopet lincah yang mungkin saja mempunyai sepatu ajaib
yang bisa melipatgandakan kecepatan larinya.
“Huh! Ini, ambilah! Dan
lekas pergi dari sini, Tuan.”
Apa-apaan itu? Jack
melihat gadis itu melemparkan dompetnya, dan kini sudah ada di dekat kaki Jack.
Kenapa tidak dari tadi saja gadis itu menyerahkannya? Apa dia pikir Jack adalah
laki-laki yang mudah menyerah? Jack merasa cukup lega dengan keringanan yang
diberikan gadis itu padanya. Namun tak lama kemudian, gadis itu kembali berlari
dan melompati pagar tinggi yang terbuat dari kawat. Sangat lincah dan cerdik!
Jack tentu tidak ingin menghilangkan sesuatu yang indah buatnya hari ini.
Diapun berlari, meski tidak melompati pagar kawat di depannya.
“I think I’m in
love..”, suara Jack terdengar seperti sebuah bisikan yang amat sangat pelan.
“HEI! SIAPA NAMAMU?!”,
Jack kali ini mesti menjerit karena jaraknya dengan gadis itu sudah lumayan
jauh. Dan belum lagi pagar pembatas yang kini memisahkan mereka.
Beberapa
saat kemudian gadis itu menghilang di sebuah belokan. Jack melangkah pelan
untuk mengambil dompetnya yang masih tergeletak di atas tanah, dan memeriksa
keadaannya. Masih sama, tidak ada yang berkurang sama sekali. Inilah yang
membuat Jack cukup heran. Sebenarnya, apa tujuan gadis yang tidak ingin
memberitahukan namanya itu? Jack menoleh lagi ke arah pagar kawat tadi,
berharap kalau gadis itu akan kembali.
“SENANG BERTEMU
DENGANMU!”
Seakan-akan gadis itu
akan mendengarkan teriakannya. Hah bodoh.
Sudah cukup sepertinya.
Mungkin ini belum waktunya. Jack bisa berharap pertemuannya dengan gadis itu
merupakan sebuah awal baru dari kehidupannya di London. Mungkin dia sudah
menemukan tinta yang akan dia gunakan untuk menorehkan kata-kata indah di atas
secarik kertas kosong. Terlalu berharap bukan masalah, selama dia juga mengiringinya
dengan usaha, dia percaya dia bisa. Pasti.
Ngomong-ngomong, dia
sudah harus kembali ke rumahnya.
“Hmm…”
Jack kembali
ke jalanan Kota London yang sudah ramai lagi. Wajar saja, sekarang sudah pukul
10 pagi dan tidak terasa sudah 3 jam Jack menghabiskan waktunya di luar rumah.
Setidaknya dia mendapatkan ‘sesuatu’ untuk dirinya. Tidak, dia tidak akan
bertindak bodoh dengan membagi kisahnya dengan saudara kembarnya. Dia ingin
menyimpan kisah barunya ini untuk dirinya sendiri. Yah, sebuah dongeng indah dari Kota Cambridge
yang akan jadi bunga mimpi indahnya.
“Bagaimana
mobil barumu, Jack?”, terdengar suara Zack ketika Jack baru saja turun dari
mobilnya di depan garasi.
“Cukup
menyenangkan dan cepat. Mau coba?”
“Aku tidak
tertarik.”
Tidak
mungkin. Jack tahu, sebenarnya saudara kembarnya itu juga menginginkan hal yang
sama dengan Jack. Hanya saja, mungkin karena faktor Jack yang ‘sedikit’ lebih
tualah yang membuatnya sedikit beruntung. Jadi ceritanya, setiap hari Jack akan
membawa mobilnya dengan Zack yang akan duduk dengan rapi di sampingnya ke
Universitas Cambridge. Yah, mereka berada di satu sekolah kali ini.
“Sudah
bertemu gadis London hm?”, kali ini suara ayahnya yang terdengar, beberapa
langkah setelah Jack masuk ke dalam rumah.
“Yep,
mereka lebih seksi.”
“Tentu
saja. Hahahaha!”
Jack
langsung pergi ke kamarnya, memperhatikan kalender yang tergantung di dinding
kamarnya. Masih ada sekitar 2 minggu sampai tahun ajaran baru dimulai. Dan itu
artinya masih ada cukup waktu untuk bersenang-senang di sini, pikirnya. Jack
merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya yang empuk, menatap langit-langit
kamarnya. Terbayangkan lagi wajah gadis pencopet yang ditemuinya tadi. Indah.
“Maybe I’m
in love.”
Jack
menutup matanya, dan terlihat pula segurat senyuman tipis di wajahnya. Ingin
rasanya dia beranjak ke dunia mimpi dan bertemu gadis itu lagi. Satu hal yang
tidak akan dia lewatkan ketika bertemu dengan gadis itu lagi adalah menanyakan
namanya. Dia tidak mau tergila-gila pada sosok gadis yang tidak diketahui
namanya. Ya, dia harus tahu nama gadis itu bagaimanapun caranya.
Setidaknya
sekarang Jack sudah tahu. Bahwa cinta tidak bisa ditebak kapan dia datang,
dimana dia akan muncul dan bagaimana dia masuk ke dalam hari seseorang.